Empatisme pemuda Negeri
“Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya,
berikan aku 1 Pemuda, niscaya akan
kugoncangkan dunia.”
Kalimat suntikan semangat bersejarah itulah yang seringkali saya dengar
dari Narasumber saat mengikuti kegiatan seminar tentang kepemudaan. Dengan
penyampaian retorika yang penuh semangat, membuat hati menggebu-gebu. Itu saja baru narasumber
yang menyampaikan.
“Bagaimana jika bung Karno langsung yang menyampaikannya?” Pasti, akan menggetarkan
semua isi jagat raya, begitu juga yang dirasakan oleh para pemuda Indonesia di
waktu itu. Lalu, “Bagaimana dengan pemuda sekarang? Apakah hanya sekedar
menjadikannya sejarah?.” Bung Karno pernah menyampaikan yaitu Jasmerah (Jangan sekali-kali
meninggalkan sejarah).
“Masih ingat lagu Bangun pemudi-pemuda?” mungkin hanya segelintir
pemuda yang hafal dan tahu lirik lagu
ini, kebanyakan sudah lupa. Padahal ini
lagu yang menguatkan rasa nasionalisme pemuda Indonesia.
Masalah lain, dollar melambung tinggi melemahkan nilai rupiah, ribuan
orang di PHK, buruh pabrik menjadi pengangguran, home industry mulai pada tutupan, masyarakat menjerit.
Belum lagi, akhir tahun 2015 akan di hadapkan
dengan pasar bebas Asean, dimana orang luar berbondong-bondong menjajah di
seluruh pelosok negeri kepulauan ini. Mulai dari buruh sampai dengan tenaga
kerja profesi. Lalu, “Pemuda mau ngapain? Hanya duduk diam?
Sekarang, bukan waktunya lagi pemuda untuk duduk nongkrong di sevel, begadang
tidak jelas yang tidak ada hasilnya, merajakan produk-produk impor. Peran
pemuda telah ditunggu oleh masyarakat, untuk menebus segala keterlenaan. Namun,
masalah itu tak perlu ditakuti atau dihindari, akan tetapi untuk dihadapi. “Memecahkan
masalah tanpa masalah”, motto Pegadaian. Lalu, “Bagaimana caranya?
Pertama, saya dapatkan saat diskusi di kelas, bahwa pemuda yang baik harus
terorganisir. karena, jika tidak terorganisir maka akan kalah dengan kejahatan
yang terorganisir. Jadi, untuk memberikan perubahan bagi masyarakat harus
mempunyai komunitas, yang dimana akan memperkuat secara internal jika terjadi
pemberontak yang datang.
Kedua, bahwa telah terjadi pergeseran identitas masyarakat yang perlu
diluruskan, “Wong jawa ora katon jawane”, istilahnya seperti itu.
Keramah-tamahan, sopan-santun, gotong-royong yang jadi identitas orang
Indonesia sudah mulai pudar. Ditambah lagi, masyarakat lebih memilih belanja di
alfamart, indomart, dibanding beli di warung tetangga, dengan alasan karena
lebih murah. Tanpa disadari, dengan belanja di mini market itu, uang rupiah
akan lari ke luar negeri. Berbeda, jika beli di warung meskipun harganya
sedikit mahal, tetapi uang akan berputar di dalam negeri.
Belanja di warung juga akan menguatkan tali silaturahmi dengan tetangga,
“Bagaimana tidak?” pasti ngga hanya sekedar beli, tapi ada aja obrolan
santainya. Beda kalau di mini market, yang di obrolin pasti hanya “Selamat
Pagi?, 100 ribu rupiah saja, 200nya mau didonasikan?.” Begitu.
Ketiga, “Mengembangkan etos guru-murid, hendaknya mengajar sebagai guru
dan belajar sebagai murid,” utaran K.H Ahmad Dahlan. Menularkan ilmu yang
dimiliki oleh pemuda untuk pemberdayaan masyarakat.
Keempat, Pemuda sebagai penjembatan masyarakat. Dimana usaha Home Industri seperti jajanan ataupun handycraft, masyarakat bingung dalam hal
pemasaran ataupun dalam inovasi produk. Nah, pemuda yang harus peka dalam hal
ini karena, kita yang berpendidikan pasti punya ilmu dan jaringan, yang dimana
bisa memberikan penyaluran pelatihan dengan mengajukan proposal ke dinas UKM
Koperasi atau Kementerian. Atau juga, dengan
membantu memasarkan produknya, kebetulan ini yang sedang saya coba lakukan di
Koperasi Mahasiswa. (DP_Lopment)